PELABUHAN CINTA

Minggu, 29 Agustus 2010

Oleh : Najwan A. Shamad

Akan kubawa kemana Cinta yang ku miliki ini
Cinta yang suci anugrah Tuhan
Apakah akan aku berikan
Ke dalam samudera yang bergelora
Ke tangan wanita yang menggoda
Ke dalam kerja yang membuta
Ke tengah hidup yang lara
Ke dalam tawa yang membahana
Ke lembah kepalsuan yang jingga

Tidaaaaaaaaak
Cintaku yang suci akan kuberikan
Ke dalam hati yang shafa
Ke lubuk jiwa yang redha
Ke tengah hidup yang setia
di dalam kebenaran
dihadapan Yang Maha Cinta
untuk selama-lamanya

Disitulah cintaku yang murni dan suci
Berlabuh dengan tenang dan damai

Aku yakin, pilihanku tepat
Tidak ada keraguan di dalamnya

( Kuok, 12 Oktober 2004 ) ...Baca selengkapnya...

SUNGAI

Oleh : Najwan A. Shamad

Aku adalah sungai
Yang mengalir kering menatap matahari
Sepi disepanjang jalan kehidupan
Daun tidak lagi bergayut hijau dibatang yang merana
Darah terhisap alur gelombang maya

Liku-liku tak lagi indah manis menawan
Membelok hanya derita bergandeng duka
Jeram tak lagi irama manis nan mendayu
Hanya hempasan kekesalan berkepanjangan

Muara jauh diujung dunia
Daya terhisap panjang jalan
Hanya sampai disini drama gemercik air
Roh menguap menuju awan gelap
Cerita tertegun sebelum selesai

Oh muara
Ku titip pesan sama musafir
Aku kehilangan daya sebelum berjumpa
Aku yakin
Engkau kan terus bergelora menghadap samudera
Meski kesejukan tak mungkin lagi kau rasa

Disini ku simpan semua kenangan
Di tengah jalan


( Puisi ini dibuat saat musim kemarau panjang, Pekanbaru 13 Agustus 1986) ...Baca selengkapnya...

PALESTINA

Sejak Nabi Ibrahim hidup di tanahmu
Sejak Nabi Ishak lahir di bumimu
Sejak Nabi Yakup menyeru untuk damai dan redha
sejak durjana dunia meraja lela mengitari tanahmu yang mulia
sejak itu pula darah menetes dari pori-pori hidupmu
air mata mengalir menguras dari batin yang tersiksa
setiap jengkal tanahmu adalah perih dan duka
kehidupanmu tercabut dari bumi Tin dan Zaitun Palestina
mereka menjajahmu di tanah airmu sendiri

oh Palestina

tidak tua tidak muda
tidak laki-laki tidak perempuan
tidak yang kuat tidak yang lemah
semua merintih menjalani waktu yang sendu
suara tangismu hilang ditelan desing roket dan peluru
perih juangmu lumat ditelan keangkuhan laras senjata

oh Palestina
mereka datang dengan kesombongan
merampas siang dan malammu
mereka hunjamkan sangkur ke tubuhmu yang telah tercabik
mereka buyarkan cita-cita kedamaian masa depan
mereka suguhkan derita yang berkepenjangan
sehingga hari-harimu kini berlumur tangis, derita, sakit dan terkubur bersama darah yang mengalir

oh Palestina
aku saudaramu yang jauh dari tanah airmu
sedih sepanjang waktu dan hatiku benar-benar marah
untuk ketawa dan bercandapun bagiku adalah siksaan
di relung hati yang menangis perih penuh kebencian
seakan kukoyak-koyak mulut para pahlawan kesiangan
yang hanya pandai menghimbau di lidah yang munafik

oh Palestina
aku tidak berdaya untuk datang ke tanah zaitunmu
untuk bergairah melawan si angkara laknatullah, Israel
tapi aku tetap bersama derita dan tangismu
tidak sedetikpun waktu berlalu tanpa menyebut namamu
Kini ku kirim puisi empatiku padamu Palestina
Allah tidak akan meingkari janjiNya
Kebenaran akan mengalahkan kezaliman, Amin.

Oh saudaraku Palestina
Aku yakin sampai detik ini tanahmu masih suburdimuliakan Allah
selama al Aqsha yang Qudus yang dititipkan Allah di tanahmu
sebagai titik tumpu menuju mi’raj bagi Khatamul Anbiya’
selama itu pula kamu akan dilindungi oleh Allah
selama kita masih memuliakan Ibrahim, Ishak, Daud, Sulaiman sampai kepada Isa dan Muhammad
Insya Allah Palestina akan tetap ada dan ada

Palestinaku yang menangis
Hapuslah air matamu, berdirilah untuk terus melawan
Tabahkan hati, kuatkan tekad, mereka bukan siapa siapa
Mereka juga manusia yang takut mati
sedangkan kamu adalah pencinta jihad dan syahid

masih banyak orang-orang shaleh di dunia ini
berdoa di keheningan dini hari untukmu Palestina
masih banyak orang-orang yang dizalimi di dunia ini
berdoa dan berjuang bersamamu

Oh Palestina
Kita sedang diuji untuk tabah dan tidak menangis
Kita sedang diuji untuk tidak cengeng dalam hidup ini
Kita sedang diuji untuk tetap bersatu dalam kebenaran
Kita sedang diuji untuk tetap berjihad dengan apa saja
Kita sedang diuji untuk tetap menjaga iman dan aqidah
Kita sedang diuji untuk tetap menegakkan kalimatullah
Kita sedang diuji untuk tetap mempertahankan tanah air
Kita sedang diuji untuk tetap sabar dalam perjuangan

Jika kita menolong Allah, Allah akan menolong kita
Dan akan memantapkan keberadaan kita di tanah air tercinta
Tidak lama lagi Palestina merdeka akan nyata
bersama memuncaknya kebencinan dan kemarahan dunia pada teroris Israel
Israel tidak selamanya kuat, dan merekapun akan lumpuh bersama kesombongan mereka sendiri

Ya Allah, saudaraku di Palestina telah lama menderita
Punahkanlah para penzalim di dunia ini
Agar mereka yang cinta damai bisa tersenyum bersama redhaMu
Oh Palestina, aku cinta kamu

Kuok, 2009-01-1, by: Najwan A.Shamad (Peace Lover) ...Baca selengkapnya...

ELIGI IMAN

Oleh : NAJWAN A. SHAMAD


Dalam udara dingin membisu
Aku menapaki perjalanan panjang menuju shubuh dini hari
Aku telah terperosok ke dalam kancah kegelisahan hati

Setelah sekian lama aku dalam pelukan iman dan islam
Dengan pengetahuan yang tak kunjung sempurna
Dan dengan keyakinan yang tak kunjung padu

Setelah sekian lama aku rukuk dan sujud dalam shalatku
Dengan melipat tulang keangkuhan dan kesombonganku

Setelah sekian lama aku bersuci membersihkan diri
Dari daki dan kotoran kemanusiaanku
Dengan air petunjukMU

Setelah sekian lama aku puasa menahan nafsu dan emosi liarku
Untuk tidak marah menerima terpaan badai
Untuk tidak angkuh menerima kekuranganku
Dengan hati yang panas dan menggelegak

Namun kini aku masih tergeletak dalam kancah kecemasan berkepanjangan
Apakah aku kini telah sampai pada tingkat hakikat iman yang hakiki
Atau hanya terkurung dalam bayang iman yang semu
Apakah aku telah sampai ke tingkat hakikat Islam yang sebenarnya
Atau hanya sekedar menjawab kepentingan identitas diri

Apakah aku telah sampai kepada hakekat rukuk dan sujud
Menanggalkan keangkuhan ku dari sesama manusia
Melahirkan keterbukaan jiwa dan batinku untuk ikhlas
Membumikan dahiku untuk tawadhuk dalam hidup

Apakah aku telah betul mensucikan diri dengan wudhuk
Sehingga daki hati dan pikiranku terkikis tidak berjejak lagi
Sehingga kotoran tangan dan kakiku sirna tak berbekas
Sehingga kotoran lidahku tidak lagi membelah damai kehidupan

Kini aku masih terjebak dalam kecemasan hati dan nurani

Apakah seluruh ibadahku cerminan imani sejati
Atau hanya sekadar berbasa basi dengan manusia-manusia di sekeliling hidupku
Apakah seluruh tindak tandukku refleksi islam yang islami
Atau hanya sekedar “aku adalah orang islam”
Apakah keikhlasan ku dapat diterima oleh Rabb ku Yang Maha Tahu
Atau hanya sekedar memanipulasi impian imanku

Kini aku masih cemas dengan keadaanku
Aku yakin imanku masih belum padu dan menyatu dalam rongga hati dan akalku
Aku yakin islamku masih sekedar penutup kejahilayahanku diantara orang yang mengaku Islam


Oh Allah, rabku yang Maha Tahu
Dengan keadaanku yang masih serba kurang ini
Aku ingin kesempurnaan dariMU yang Maha Sempurna

Aku sadar bahwa aku tidak pantas mendapatkan keredhaanMU
Namun aku tidak sanggup untuk menerima kemarahanMu yang maha kuat

Ya Allah, laa ma’buda illa ANTA
Bimbinglah ibadahku untuk selalu khusyuk dan ikhlas di hadapanMu
Dan tidak tergoda dengan pujian palsu manusia

Ya Allah, La ilaha illa ANTA
Bimbinglah imanku untuk selalu yakin dan semakin yakin
Sesuai dengan keinginanMu yang Maha Benar

Aku berdoa dengan segala kelemahan dan kekuranganku yang tiada tara
Aku berdoa dengan segala macam dosa dan noda
Untuk mendapatkan redha dan kasih sayangMU yang Maha luas

Keterjebakanku dalam kecemasan hidup seperti ini
semoga Engkau terima sebagai jalan kesadaran menuju ridhaMU

Ya Allah, aku hina, aku lemah,aku tidak memiliki apa-apa, tapi aku sangat membutuhkanMu
dalam iman dan ibadahku sepanjang dunia menuju akhiratMU,

Aku yakin, aku tidak ada artinya dalam wujudMU, namun aku kan tetap berkeras hati mendekat kepadaMU di jalan yang dunia yang banyak menggoda ini.
Ya Allah, aku rindu kehangatan kasih sayangMU di shubuh yang dingin ini
Ya Allah, aku rindu kesejukan maghfirahMU di zaman yang makin panas ini.
Amiin.

(Kuok, 18 Oktober 2004.) ...Baca selengkapnya...

Melayu Seremonial

Rabu, 02 Desember 2009

Berbicara masalah Melayu di Riau adalah masalah yang tidak pernah berhenti. Setiap kesempatan, deru dan suasana Melayu selalu mengemuka. Semua tempat seakan mengatakan bahwa ini adalah daerah Melayu, semua orang seakan mengatakan, aku adalah orang Melayu. Secara faktual pada setiap acara, mulai acara pesta perkawinan, menyambut pemimpin mulai dari tingkat bawah sampai atas, perayaan ulang tahun daerah tempatan, pesta rakyat, selalu bernuansa Melayu
, mulai dari pakaian, seni musik tradisi, penampilan silat, tepak sirih, payung kebesaran dan kata berpantun. Semua mengedepan secara nyata dan gembira di bawah senyum kepuasan dan kebangaan. Semua yang hadir kagum melihat penampilan-penampilan yang begitu percaya diri sebagai mewakili simbol ke-Melayu-an. Betapa gagahnya para pemimpin dan tokoh masyarakat memakai pakaian khas Melayu dengan songket yang berkilau mahal dengan warna yang tidak mungkin terbeli oleh masyarakat banyak.

Salah satu elemen acara yang selalu ada adalah menyambut para pemimpin dengan penampilan silat. Seperti diketahui, silat adalah salah satu bentuk seni bela diri, salah satu bentuk keahlian yang sejatinya dimiliki oleh setiap orang dalam menjaga dan mempertahankan diri dari orang-orang yang berniat jahat. Ketangkasan bersilat juga merupakan lambang keperkasaan dan kepahlawanan dalam membela kebenaran. Silat merupakan bela diri yang melahirkan sportifitas yang tinggi. Kalau dipikirkan secara dalam, kenapa harus silat ditampilkan ketika menyambut para pemimpin. Apa filosofi yang ingin diungkapkan. Apakah ingin menampilkan keperkasaan kita kepada pemimpin di tengah ketertinggalan kita. Ataukah ingin pamer kehebatan kepada masyarakat banyak, atau ingin memberi tahu kepada para pemimpin bahwa masyarakat kita adalah masyarakat yang pandai bersilat yang berarti juga masyarakat yang berani. Pertanyaan ini bila diajukan kepada perancang acara penyambutan, mungkin tidak dapat menjawab dengan pasti. Paling-paling akan dijawab sebagai “suatu kebiasaan” sejak dahulu. Pada hal, keahlian bela diri biasanya ditampilkan saat-saat menghadapi musuh atau orang-orang yang berniat jahat kepada kita, bukan untuk menerima pemimpin.

Begitu juga urgensi keberadaan laskar Melayu. Apakah benar-benar pengawal dan pengaman masyarakat dan budaya Melayu dari ancaman budaya asing yang selalu merusak, sehingga dengannya masyarakat dan budaya Melayu merasa aman di rumahnya sendiri. Ataukah reinkarnasi dari kultur budaya kerajaan yang memiliki hulubalang-hulubalang yang gagah perkasa dan siap membela keamanan raja dan kerajaan. Atau hanya sebagai penjelmaan dari satu bentuk eksistensi yang harus diakui keberadaannya di tengah masyarakat Melayu oleh masyarakat pendatang dimana lasykar Melayu tersebut lebih kurang sama dengan aparat keamanan yang ada.

Dari pemikiran-pemikiran di atas, yang perlu dipertanyakan adalah kenapa pernik-pernik budaya Melayu lebih mengemuka pada acara-acara resmi yang nuansa seremonialnya sangat tinggi. Kita tahu, setiap acara penyambutan, semua elemen pandangan harus disulap menjadi megah dan meriah, semua yang merusak pandangan harus ditutupi, semua jerawat kehidupan harus dibedaki, semua lobang-lobang perjalanan hidup, saat itu harus ditimbun dan dihilangkan. Segala sesuatu dikondisikan menjadi baik dan sempurna. Setiap elemen perilaku saat itu diformat menjadi ramah dan terenyum, air mata dikeringkan dulu. Kemiskinan sembako ditutupi dengan acara makan bersama ( bajambau istilah Kampar ). Pada setiap penyambutan, kita tidak mau menampilkan jati diri yang sebenarnya, sebagai kristalisasi nilai Melayu yang telah menyatu dalam nafas kehidupan sehari-hari, tapi kita ingin memanipulasi keadaan menjadi gemah ripah, sebagai penampilan yang tidak jujur yang sebenarnya berlawanan dengan nilai-nilai budaya Melayu itu sendiri. Amat disayangkan, semua kita seakan telah sepakat, bahwa acara penyambutan para pemimpin inilah saat-saat yang tepat menampilkan budaya Melayu yang sebenarnya.

Dilain pihak dari tradisi-tradisi penyambutan, pernik-pernik budaya Melayu seakan hanya untuk diperlihatkan kepada para pemimpin yang datang, bukan untuk dirasakan oleh masyarakat banyak. Seakan-akan tradisi Melayu yang memiliki nilai budaya kehidupan yang jernih, lurus, jujur dan islami harus ditampilkan dengan pernik-pernik budaya penampilan yang direkayasa. Apakah budaya Melayu hanya ada dan untuk kepentingan seremonial?.

Dalam setiap acara penyambutan, para pemimpin seakan memberi peluang kepada panitia tempatan untuk membelokkan nilai budaya yang sakral ke nilai seremonial yang dianggap sebagai penghormatan dari masyarakat. Para perancang acara penyambutan bebas untuk mengaktualisasikan nilai Melayu yang substansial ke bentuk farsial dan artifisial. Nilai-nilai budaya Melayu yang sebenarnya membentuk perilaku individu serasi dan bermakna bagi kehidupan sosial, kini diformat untuk pemuliaan semu kepada pemimpin dengan tujuan untuk menunjukkan, “inilah kami, masyarakat Melayu yang pandai menghormati tamu”. Inilah kami yang telah berhasil menciptakan kehidupan sosial yang bersatu penuh dengan nilai-nilai budaya.

Kehebatan putera Melayu sejatinya ditampilkan untuk memformat diri demi memiliki sumber daya manusia yang berkwalitas dalam mengurus segala persoalan kehidupan yang dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat. Tidak hanya pandai menuntut, tapi juga mampu membuktikan. Anak Melayu harus menginstal keperkasaan Hang Tuah ke dalam dirinya untuk menjalani kehidupan, tidak cengeng, dan tidak mudah merajuk bila tuntutannya tidak dikabulkan. Mampu tampil mandiri dengan keadaan apa adanya, dan tidak berpikiran lokal.

Kehebatan budaya Melayu bukan hanya untuk kepentingan seremonial belaka, tapi ada dan menyatu dalam denyut kehidupan keseharian masyarakat berbudaya. Tidak hanya untuk para pemimpin dan tokoh terpandang, tapi juga untuk seluruh orang yang hidup di bumi Melayu. Kehebatan budaya Melayu tidak untuk membuat batas antara yang “punya” dengan yang “lara”, dan tidak pula pembeda antara golongan “berkelas” dan “masyarakat banyak”. Begitu juga budaya Melayu bukan untuk mengokohkan jabatan dan kepentingan, tapi untuk mengangkat harkat dan martabat kehidupan dalam rotasi global yang setara.

Yang amat terhormat, Datuk DR.Tenas Effendy dalam bukunya “Tunjuk Ajar Melayu”, mengatakan : Adat hidup terpandang: kasih tidak pandang memandang, sayang tidak memilih orang, baiknya sama muka belakang, berbudi tidak bilang membilang, eloknya tidak menjadi hutang, hatinya rendah tiada berpantang. Butir-butir budaya Melayu ini harus ada pada setiap masyarakat yang mengaku Melayu dan Islam di mana dan kapan saja. Mungkinkah ?

© Drs. Najwan A. Shamad





...Baca selengkapnya...

Bingung

Oleh : Najwan A. Shamad.

Dalam perjalanan waktu yang kian menyempit
tertatih-tatih melompati kepastian yang kabur
untuk segeming asa yang menggelembung
Lobang yang menganga dibawah jalan
Adalah bumerang yang sedang melayang
semua tak terkepalakan oleh mereka yang sedang berburu
oleh mereka yang berpacu dalam waktu yang melingkar
oleh mereka yang lapar dengan tahta buwana

Setiap gerak mereka lumuri dengan janji manis
hambar menyesakkan dada
Setiap kata yang terucap adalah harapan
mempesona kelaparan dan kekeringan logika
Setiap denyut darah adalah menuju ke tangga tahta kencana

Bingung aku memperhatikan orang yang berjuang
kursi adalah segala-galanya,
untuk sukses, dengan coin menyelamatkan
bangsa yang tak kunjung pintar
mereka melangkah pasti

Aku melihat mereka terbawa arus ambisi dengan baju demokrasi
Direlakan kecelakaan hidup demi keselamatan masa depan
Air di tangan dia tumpahkan
Demi menampung hujan mimpi yang masih teka teki

Aku mendengar orang-orang yang hanya punya mulut dan lidah
menyemai biji janji di tanah yang bingung
Aku mendengar anak gembala menasehati tuannya
Aku melihat orang rakus membagi-bagi uang kepada yang tergadai harga dirinya
Aku menonton orang lumpuh mengajar tupai berlari

Bingung
Bingung
Bingung aku dengan sejuta pelangi tanya
Mau dibawa kemana biduk bocor ini oleh gembala yang tak pandai berenang
Kenapa angin yang bening tak mau menjawab
pohon yang menari tak mau bersuara
menyapa,
menyapa aku yang terporosok
dalam kabut bingung yang kusut

( Kuok, 160903)




...Baca selengkapnya...

Mencari Identitas Melayu III

Rabu, 11 November 2009

Angin “Melayu” di Riau semakin deras. Seluruh pelosok daerah seakan-akan menggemakan keinginan untuk menjadikan Melayu sebagai lambang identitas. Menjadikan Riau sebagai pusat kebudayaan Melayu. Para pejabat semakin bersemangat membudayakan aksesoris Melayu disetiap ceremonial resmi. Tampil dengan gagah sebagai orang Melayu yang sepintas sangat kental. Tampil dengan dinamika warna-warna yang eksklusif. Penampilan kesenian Melayu pada setiap acara juga hadir dengan mengikuti tradisi lama. Setiap menyambut para tamu, selalu disambut dengan penampilan silat, yang nota benenya sebagai seni beladiri. Pesan apa yang perlu disampaikan dalam penampilan silat itu kepada para tamu terhormat?

Sebagai orang Melayu, Penulis ingin untuk memahami filosofis Budaya Melayu dalam kontek yang sebenarnya dalam setiap elemen kehidupan. Selama ini, selalu diopinikan, bahwa Melayu seakan-akan sebatas bentuk pakaian, tari, dialek bahasa dan “budaya tradisional” (dalam tanda petik). Para pejabat selalu mengajak rakyat untuk terus mempelajari dan memahami budaya Melayu dengan baik, tapi tidak jelas dalam bentuk apa. Dilain pihak, himbauan untuk mengangkat budaya Melayu lebih banyak tertuju pada asesoris-asesoris yang menempel pada pakaian dan bangunan, dengan arti ingin menampilkan kembali pernik-pernik budaya yang sudah lama ditinggalkan. Wilayah ke-melayuan seakan terbatas pada penampilan-penampilan pisik yang mudah dilihat dengan mata telanjang, apakah bentuk pakaian, kemeriahan, acara yang menggembirakan, kemewahan, kegagahan dan tentu saja berharga mahal. Kesenian Melayu, seakan hanya berbentuk joget, berbalas pantun, atau tari-tari yang telah populer sejak dulu kala.

Masyarakat memahami, bahwa budaya Melayu yang ingin dijadikan sebagai identitas, seolah-olah hanya untuk wilayah Riau yang secara historis telah Melayu sejak lama. Perlu dipertanyakan, pemikiran ke-melayu-an, apakah untuk pembinaan kedalam (untuk masyarakat Riau), atau untuk popularitas keluar. Penulis belum banyak melihat pemikiran ke-melayu-an berdasarkan filosofis yang menglobal, dalam arti tidak hanya berpikir lokal tapi lebih luas dalam wilayah kehidupan umat manusia. Putra Melayu belum nampak tampil sebagai penggagas budaya yang lebih universal dan dirasakan paling tidak oleh masyarakat nusantara ini. Kehebatan putra Melayu seakan hanya untuk Riau saja, belum dirasakan oleh seluruh pelaku-pelaku budaya nusantara. Kehebatan “melayu”, belum dalam konteks kekinian, baik dalam konsep budaya untuk kepentingan pariwisata, ataupun dalam bentuk pemikiran dan filosofi kehidupan.

Mungkin sudah tiba saatnya, para budayawan dan pemikir-pemikir Melayu bersuara di luar dan keluar dari Riau. Rasa kedaerahan yang sempit, sudah harus ditinggalkan, dan berangkat menuju wilayah yang lebih luas. “Melayu”, sebaiknya diperkenalkan oleh orang-orang Melayu yang cerdas di luar wilayah Riau, yang berbicara dalam dunia ilmu pengetahuan dan teknologi. Pakar-pakar budaya Melayu, sedapat mungkin mencari identitas melalui produk-produk yang memiliki nilai budaya tinggi dan memiliki nilai jual dalam ranah wisata. Budaya-budaya lama yang secara filosofis mempunyai makna, perlu ditampilkan kembali dengan penampilan-penampilan yang lebih menarik. Seperti kesenian celempong (di Kampar) misalnya, yang selama ini ditampilkan oleh orang-orang yang sudah berumur tua, apa adanya, seadanya, kini perlu dipoles dengan menampilkan orang-orang muda yang energik, gagah dan meyakinkan. Notasi-notasi musik yang baku, sudah seharusnya dimasukkan ke dalam musik celempong, sehingga dengan notasi ini, pemain musik celempong tidak hanya bisa menampilkan instrumentalia lagu-lagu lama, tapi juga bisa mengiringi lagu-lagu populer masa kini. Dengan demikian, kesenian musik celempong, mampu mengiringi lagu-lagu moderen tanpa harus kehilangan identitas tradisionalnya.

Sebagai orang berbudaya, kita harus mengakui, bahwa negara Spanyol telah mampu melahirkan satu produk yang melanda dunia, yaitu rumah “bergaya Spanyol” dengan segala asesorisnya. Walaupun bangunan dengan arsitek moderen, namun nuansa Spanyolnya tetap kentara. Begitu juga Perancis bisa mengekpor budaya makan “ala Perancis” pada pesta perkawinan atau perjamuan makan. Makan “ala Perancis”, telah membudaya di negeri yang telah memiliki budaya ini. “Gaun pengatin” gaya barat, juga telah membudaya pada setiap pesta pernikahan di negeri ini. Apakah kenyataan seperti ini sebagai pluralisme budaya, atau kelemahan budaya kita yang kehilangan makna dan eksistensi.

Dalam hal makanan, pengusaha rumah makan Minang dimana saja telah mampu memberi identitas “rumah makan Minang” dengan ciri-ciri yang sangat spesifik, yaitu keterampilan menghidangkan makanan dengan jumlah piring yang banyak dalam satu hidangan sekaligus, lengkap dengan menu serta aroma masakannya yang khas. Masakan “rendang”, “dendeng balado”, sudah merupakan menu khas Minang yang telah akrab di lidah dan terkenal di nusantara bahkan dunia. Dodol Garut juga merupakan produk yang sangat terkenal di Nusantara, sehingga bila ada orang datang dari Jakarta, pasti ditanya mana oleh-oleh ”dodol Garut”. Medan selalu terkenal dengan buah “salak”nya. Bukittingi dengan “sanjai”nya, Brastagi dengan jeruk “Brastagi”nya, Palembang dengan “Mpek-mpek”nya. Solok, Cianjur dan Ampek Angkek terkenal dengan mutu berasnya yang bagus. Dalam hal hasil produksi pertanian, atau peternakan, kita juga harus kagum kepada negara Thailand, yang telah mengeksport buah-buahan yang serba Bangkok; Jeruk Bangkok, durian Bangkok, mangga Bangkok, ayam Bangkok dan lain sebagainya.

Kita orang Melayu Riau, harus pula menemukan kembali atau melahirkan suatu produk, apakah dari hasil home industri yang berakar pada makanan atau kerajinan daerah Riau sendiri, atau dari produk pertanian yang secara langsung diolah oleh masyarakat Riau ( tidak termasuk perkebunan sawit, karet ) yang bisa dijual langsung dan dijadikan produk murni dari masyarakat tempatan, bukan hasil tiruan atau rekayasa dari hasil produk luar Melayu Riau, serta dijadikan sebagai lambang identitas Melayu Riau yang tidak dimiliki oleh daerah lain. Untuk merealisasikan keinginan ini, sangat perlu dipikirkan lalu lintas produk, mulai dari hulu ( sumber ), produsen, sampai pada proses hilirnya (pemasarannya). Agar produk bisa menjangkau wilayah yang lebih luas, faktor bentuk, rasa, nilai seni, sistem pengepakan, penampilan, dan harga sangat berpengaruh. Sistem kemasan apa adanya, jelas tidak akan menimbulkan daya tarik. Kalaulah wilayah pemasaran produk melayu Riau hanya untuk orang Riau, jelas tidak memiliki surplus ekonomi bagi masyarakat.

Dalam dunia politik, kalau ingin terkenal di Indonesia, kita harus berada di Jakarta, berusaha ambil peran di lapangan apa saja. Habibi tak mungkin dikenal dunia, bila dia hanya menetap di tempat kelahirannya, tapi dia ke Jakarta, ke Bandung dan kemudian ke Jerman dan kembali ke tanah air sebagai orang pintar yang diakui. Mungkin salah satu penyebab kenapa putra Melayu Riau hampir tidak pernah menjadi menteri kabinet, adalah disebabkan karena putera Melayu Riau tidak begitu dikenal di wilayah pusat grafitasi kekuasaan ( Jakarta/ Indonesia ), meskipun putra Melayu Riau banyak yang hebat dan pintar. Bila melihat sejarah hidup dan perjuangan masyarakat Melayu Riau sejak dari dulu, kebanyakan orientasi hidupnya adalah berdagang secara amatir dengan daerah tujuan terbatas, seperti Malaysia, Singapura, Jambi dan lokal. Sedangkan untuk menyambung pendidikan lebih banyak di daerah sendiri atau ke Sumatera Barat. Masyarakat Melayu Riau sejak dahulu telah ditakdirkan bergelut dengan uang yang banyak ( ke Malaysia dan Singapura membawa karet / kopra ) dan bersenang-senang dengan uang itu sehingga lupa memikirkan pendidikan dan wilayah politik. Dalam guyonan masyarakat banyak, “untuk apa sekolah tinggi-tinggi kalau ujung-ujungnya juga mencari uang”. Sudah menjadi kesimpulan umum, bahwa orang yang mempunyai banyak uang, tidak mau bersusah payah, dan cendrung menghindari usaha-usaha yang memiliki dinamika persaingan. Yang penting bagi mereka, “menang, kenyang dan senang”. Untuk mendapatkan yang diinginkan, mereka lebih suka mengeluarkan uang berapa saja dari pada harus berjuang dengan pretasi.

Konotasi-konotasi negatif, anekdot-anekdot miring yang dialamatkan kepada masyarakat melayu, seperti “masyarakat pemalas, suka makan enak, suka berkumpul-kumpul dengan keluarga, takut berjuang di luar, bagak di kampung, suka membanggakan diri, suka merajuk, dan lain-lainnya”, mesti dimentahkan dan dihilangkan dengan bukti sebaliknya, tanpa harus mengorbankan nilai-nilai positif dari tradisi selama ini.
Masyarakat Riau, sudah semestinya mempopularitaskan identitas “melayu” yang diperkenalkan oleh “putera melayu” kemana saja di pelosok dunia ini. Identitas ini harus merupakan bagian dari budaya yang akrab dan abadi dalam kehidupan, bukan untuk sementara dan bukan untuk kepentingan sesaat.

Dengan akan diadakannya Wilayah Perdagangan Bebas (FTZ), segala bentuk potensi andalan sudah dipersiapkan, baik produk asli daerah, hasil industri rumah tangga, kerajinan tangan, maupun produk-produk hasil teknologi masa kini yang memiliki nilai jual, bermutu dan mampu untuk bersaing di pasar bebas. Jangan sampai wilayah pasar bebas, dijadikan tempat penjualan produk luar negeri untuk masyarakat Riau yang terkenal dengan kekayaannya. Wilayah berpikir masyarakat Riau di zaman pasar bebas, bukan untuk mencari keuntungan secara pribadi, tapi untuk citra Riau selamanya yang berdampak positif bagi segenap lapisan masyarakat, baik ekonomi maupun pendidikan. Prinsip hidup maju sebaiknya mulai dibudayakan menggantikan prinsip hidup tradisional.

Masyarakat Riau tidak hanya bersiap untuk menghadapi Pasar Bebas di Riau, tapi harus mampu keluar dari Riau untuk mengisi kapling persaingan pasar bebas di negara manapun. Zona Pasar Bebas, bukan sekedar mencari keuntungan materi bagi semua pihak, tapi juga mencari pengalaman, hiburan, dan wisata (rekreasi). Sudah sepatutnya masyarakat Riau menggali kembali atau memoles segala potensi budaya dan daerah untuk dijual pada ranah wisata. Karena yang akan datang ke Riau adalah orang-orang luar negeri, sudah seharusnya Riau menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua setelah bahasa Indonesia, sehingga tidak menjadi kendala bagi masyarakat Riau untuk menerima wisatawan atau untuk pergi ke luar negeri.

Yang menjadi pertanyaan adalah, mampukah masyarakat Melayu Riau dalam waktu dekat menjadi maju sembari tetap mengejar segala ketertinggalan selama ini?. Namun, walau bagaimana, identitas “Melayu” harus segera dicari dan dipatenkan, yaitu identitas yang asli dan murni milik masyarakat melayu Riau. Berpikir positif, hidup berkualitas, islami, memiliki semangat hidup yang tinggi, berpikir maju, tidak cengeng, tidak nyanyah, harus menjadi budaya dan filosofi hidup masyarakat Riau, sebagai lambang identitas Melayu bagi masyarakat dunia. Satu suku bangsa atau budaya, hanya bisa dikenal melalui pelaku budaya itu sendiri yang sanggup berperan secara nasional ataupun internasional.

© Drs. Najwan A. Shamad


...Baca selengkapnya...